
Halo Poppals! Di tengah riuhnya sejarah Indonesia yang penuh gejolak, ada sebuah lagu rakyat sederhana yang nasibnya berubah drastis seiring dengan pergeseran politik: Genjer-Genjer. Lagu ini awalnya tidak lebih dari representasi kesulitan hidup masyarakat Banyuwangi, Jawa Timur.
Namun seiring berjalannya waktu, ia menjadi simbol yang berkaitan erat dengan tragedi politik paling kelam dalam sejarah Indonesia: pemberontakan berhubungan dengan PKI tahun 1965.
Asal usul dan makna
Genjer-Genjer merupakan ciptaan seniman Banyuwangi, M. Arif, pada awal 1940-an. Lagu ini lahir di tengah penderitaan rakyat akibat penjajahan Jepang. Dalam liriknya, genjer sejenis tanaman air yang bisa dimakan dan menjadi simbol kemiskinan.
Lagu ini juga menceritakan tentang perempuan yang memetik genjer untukbahan masakan dan dijual demi bertahan hidup. Namun ironi sejarah kemudian menorehkan garis politik dalam nasib lagu ini.
Pada 1960-an, lagu Genjer-Genjer menjadi semakin populer. Lirik dan iramanya yang sederhana namun menyayat hati, membuat berbagai kalangan menyukainya.
Di saat yang sama, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sayap kebudayaan dari Partai Komunis Indonesia (PKI), mulai mengangkat dan mempopulerkan lagu ini sebagai bagian dari “seni rakyat revolusioner.” Lagu ini juga sering menjadi lagu dalam acara-acara yang berbau kiri.
Bahkan isunya, Genjer-Genjer menjadi lagu yang sering oleh Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) nyanyikan dan putar. Ini adalah sebuah organisasi perempuan yang dituduh terlibat dalam peristiwa G30S/PKI.
Namun, narasi ini hingga kini masih menjadi perdebatan oleh sejarawan karena kurangnya bukti konkret dan adanya propaganda besar pasca-1965.
Terbenam dalam Larangan
Setelah peristiwa G30S dan jatuhnya PKI, pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto memberangus segala hal yang berbau komunis, termasuk lagu Genjer-Genjer. Lagu ini sebagai simbol ideologi terlarang. Memainkan atau menyanyikannya bahkan bisa berujung pada penangkapan.
Selama puluhan tahun, Genjer-Genjer terbenam dalam larangan dan ketakutan. Lagu yang awalnya tidak lebih dari curahan kesengsaraan rakyat miskin, kini menjadi momok yang dibayangi stigma komunis.
Memasuki era Reformasi, suara-suara kritis mulai mempertanyakan kebenaran sejarah versi tunggal yang tersebar oleh Orde Baru. Penelusuran terhadap budaya yang menjadi anggapan “terkait PKI” mulai kembali berlanjut. Lagu Genjer-Genjer pun perlahan keluar dari pengasingan.
Dalam beberapa dokumenter dan pertunjukan seni kontemporer, Genjer-Genjer kembali dibawakan sebagai bentuk refleksi atas sejarah yang dimanipulasi. Banyak kalangan menekankan bahwa lagu ini adalah warisan budaya rakyat, bukan ciptaan PKI.
Namun, stigma tidak mudah hilang. Hingga hari ini, lagu Genjer-Genjer masih mengundang kontroversi dan perdebatan, terutama ketika berada di ruang publik.
Dalam denyut lagu Genjer-Genjer, kita mendengar lebih dari sekadar irama minor dan lirik tentang tanaman air. Kita mendengar suara rakyat, suara propaganda, dan suara trauma sejarah.
Pertanyaannya kini: akankah kita membiarkan lagu ini tetap tertutup oleh ketakutan masa lalu?. Atau berani membacanya ulang sebagai bagian dari mozaik kebudayaan Indonesia yang utuh?