
Di era musik serba cepat dan lagu viral yang silih berganti setiap minggu, jarang ada lagu lama yang bisa kembali muncul ke permukaan dengan kekuatan yang seolah segar kembali. Salah satunya adalah I Wanna Be Yours dari Arctic Monkeys.
Rilis tahun 2013 sebagai bagian dari album AM, lagu ini kembali viral di TikTok dan berbagai platform streaming, lebih dari satu dekade setelah pertama kali muncul. Pertanyaannya: kenapa sekarang?
Jawabannya tidak hanya terletak pada algoritma, tapi juga pada bagaimana Generasi Z memaknai ulang lagu ini baik secara emosional maupun estetis.
Secara musikal, I Wanna Be Yours bukan lagu dengan struktur rumit. Irama lo-fi yang repetitif, beat lambat, dan aransemen minimalis justru menjadi kekuatannya. Lagu ini menutup album AM dengan nuansa yang tenang namun menyimpan gejolak dalam liriknya.
Popularitas Arctic Monkeys tidak bisa lepas dari peran media sosial, terutama TikTok dan Instagram Reels.
Banyak pengguna gunakan sebagai soundtrack untuk video pendek bertema cinta diam-diam, kerinduan, atau bahkan visual ala film noir.
Gen Z terkenal sangat visual dan puitis dalam cara mereka mengekspresikan emosi, dan lagu ini memberi ruang untuk keduanya.
Melodi yang mendayu, bersama dengan visual kamera 35mm, hujan malam, atau cahaya neon, menciptakan atmosfer nostalgia yang kuat.
Lagu ini tidak hanya didengar, tapi dirasa dan itu membuatnya cocok jadi bagian dari tren estetika melankolia digital.
Fenomena ini juga terjadi seiring dengan naiknya tren nostalgia digital. Di mana lagu, mode, dan estetika tahun 2000-an hingga awal 2010-an kembali orang-orang gemari. I Wanna Be Yours adalah salah satu produk musikal dari masa itu yang ternyata masih relevan secara emosional.
Fenomena kembalinya I Wanna Be Yours ke permukaan bukan sekadar efek viral, tapi juga karena kemampuannya menjawab kebutuhan emosional generasi muda saat ini.
Lagu ini membuktikan bahwa musik tidak selalu harus baru untuk relevan.